Selasa, 24 Januari 2012

ABSTRAK SKRIPSI

STUDI EKSPLORASI POTENSI EKOWISATA PESISIR DESA KECIPUT KECAMATAN SIJUK KABUPATEN BELITUNG

Oleh : Guntoro

NIM: 06405244037

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui kondisi sumberdaya fisik maupun sumberdaya non fisik ekowisata pesisir, mengetahui tingkat potensi ekowisata pesisir, dan menyusun alternatif strategi pengembangan ekowisata pesisir Desa Keciput ke depan.

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Populasi dalam penelitian ini meliputi aspek fisik seluruh wilayah pesisir (pantai dan laut) Desa Keciput yang dijadikan objek ekowisata termasuk amenitas dan aspek non-fisik meliputi seluruh Kepala Keluarga di Desa Keciput, wisatawan dan stakeholders yang terkait dalam pengelolaan ekowisata. Jumlah sampel aspek non-fisik meliputi Kepala Keluarga 83 responden dan wisatawan 50 responden. Aspek fisik diperoleh dengan observasi dan dokumentasi. Aspek non-fisik diperoleh dari interview dengan masyarakat dan stakeholders yang terkait, sedangkan angket/kuesioner disebarkan kepada wisatawan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah (1) Proportional random sampling untuk masyarakat (2) incidental sampling untuk wisatawan (3) judgement sampling untuk stakeholders. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, statistik sederhana, klasifikasi dan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kondisi sumberdaya fisik dengan variabel-variabel meliputi (a) musim yang baik berkunjung pada bulan Maret sampai Oktober; (b) kecepatan arus permukaan air laut sebesar 0,057 meter/detik sampai 0,094 meter/detik; (c) kecerahan air laut 9,6 meter; (d) kedalaman laut di lokasi terumbu karang sedalam 10 meter sedangkan di tepi pantai sedalam tiga meter; (e) jenis subtrat perairan didominasi oleh pasir; (f) keanekaragaman ikan karang sebanyak 48 spesies; (g) ketersediaan air tanah pada kedalaman 31 meter; (h) tutupan karang hidup sebesar 54,76 persen; (i) keanekaragaman karang sebanyak sebanyak 174 spesies; (j) tipe pantai berpasir; (k) penutupan lahan pantai yaitu: pohon kelapa dan semak berupa ilalang; (l) amenitas terdiri dari fasilitas akomodasi, fasilitas rekreasi, fasilitas belanja dan warung makan, fasilitas kesehatan, fasilitas pelengkap lainnya, dan fasilitas infrastruktur. (2) kondisi sumberdaya non-fisik menunjukkan sebagian besar masyarakat mendukung ekowisata dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) akan tetapi sebanyak sebesar 81,93 persen masyarakat tidak berpartisipasi dalam pengeloalan ekowisata sedangkan tanggapan wisatawan sebagian besar 92 persen menunjukkan puas selama berwisata. (3) Tingkat potensi ekowisata pesisir Desa Keciput termasuk tinggi (skor 54). (4) prioritas utama alternatif strategi pengembangan ekowisata pesisir yaitu: memanfaatkan potensi sumberdaya ekowisata pesisir dengan meningkatkan promosi dan menambah jumlah wisatawan.

Kata kunci: ekowisata pesisir, kondisi sumberdaya fisik dan non-fisik, tingkat

potensi, alternatif strategi pengembangan

Jumat, 13 Maret 2009

Minggu, 08 Februari 2009

Selasa, 20 Januari 2009

Klasifikasi Vegetasi

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977).

Ossting (1982), mengklasifikasikan vegetasi terdiri dari 7 macam :

1. Vegetasi Pantai

Vegetasi yang terletak di tepi pantai dan tidak terpengaruh oleh iklim serta berada diatas garis pasang tertinggi (Departemen Kehutanan). Salah tanaman yang terdapat di daerah pantai adalah kelapa, merupakan satu jenis tumbuhan dari keluarga Arecaceae.

2. Vegetasi Mangrove/Rawa

Definisi kelompok: karakterisitik dari tanaman pantai,muara sungai atau delta yang berada di tempat yang terlindung di daerah pesisir pantai yang membentuk suatu ekosistem.

Definisi menurut FAO (1982): adalah jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh pada daerah pasang surut.

Definisi menurut Macnae (1968): mangrove adalah suatu individu pohon sedangkan mangal adalah komunitas dari beberapa jenis tumbuhan.

Macam-macam Vegetasi Mangrove

· Vegetasi inti:

Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah yang mampu brtahan terhadap salinitas (garam) yang disebut sebagai Halophyta.kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus untuk tumbuh dan berkembang,toleransi terhadap garam tinggi,dapat bertahan pada perendaman pasang surut.

· Vegetasi marginal:

Pada mangrove yang berada di darat,di rawa musiman,pantai dan atau mangrove marginal.

· Vegetasi fakultatif marginal:

Daerah yang banyak ditumbuhi tanaman meliaceae denagn jenisnya Carapa guianensis. Jenis lain Raphia taedigera.dimana pengaruh iklim katulistiwa sangat banyak,tumbuh jenis melaleuca leucadendron rawa.

Vegetasi yang tumbuh di daerah pantai berlumpur dengan jenis-jenis pohon diantaranya pohon bakau ( Rhizophora sp), Bruguiera sp., Sonneratia sp., Xylocarpus, Avicenia dan lain-lain. Terdapat di bagian barat kawasan yaitu di sekitar Sukadana dan Batu Barat.

3. Vegetasi Payau

Adalah areal/bidang tanah yang berupa hutan lebat yang berawa-rawa, permukaan tanah tergenang selama enam bulan dan kumulatif dalam setahun dan pada kurin waktu tidak terjadi penggenangan (surut) tanah senantiasa jenuh air (Badan Pertanahan Nasional).

Vegetasi ini tumbuh di daerah pertemuan air sungai dan air laut yang terdapat di muara sungai. Jenis vegetasi di daerah payau adalah Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur.

4. Vegetasi Gambut

Tipe vegetasi yang umumnya terdapat pada Daerah beriklim A atau B (Badan Pertanahan Nasional). jenis pohonnya antara lain ramin ( Gonystylus bancanus), dan jelutung ( Dyera sp).

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.

Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al, 2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan semestinya.

Tanaman yang dapat tumbuh di lahan gambut adalah kelapa sawit, sagu, nanas, cassava, kacang tanah, kedelai, jagung, ubi jalar, asparagus, sayuran juga dapat tumbuh di lahan gambut karena termasuk tanah yang cukup bagus untuk pertumbuhan tanaman. Tanamman lain yang dapat tumbuh seperti di Sumatra dan Kalimantan yaitu jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di daerah pantai Ivory dengan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase 80-100 cm.

Beberapa spesies tanaman yang biasanya terdapat di dataran rendah seperti casuarina dan matoa; tanaman pertanian seperti nanas, melon, dan pisang; serta sayur mayur dan bijih-bijihan seperti cabai, ketimun, tomat, padi, buncis dan labu.

Tanaman lain yang dapat tumbuh di dataran rendah diantaranya : jagung, ketela pohon, ubi jalar, kacang-kacangan, karet, kopi robusta, kelapa sawit, tebu, cokelat, tembakau, kapuk.

5. Vegetasi Dataran Rendah

Vegetasi yang tumbuh dibawah ketinggian 700 m di atas permukaan laut (Departemen Kehutanan). Vegetasi yang terdapat banyak dijumpai pada ketinggian hampir 0 meter dpl. Daerah ini banyak terdapat tanah aluvial. Vegetasi tanah aluvial secara umum merupakan habitat yang subur dan mempunyai keaneragaman jenis yang tinggi. Terdapat di sekitar lembah Gunung Peramas dan Gunung Lobang Tedong, Sukadana. Jenis pohonnya antara lain pohon belian/ kayu besi (Eusideroxilon zwageri).

6. Vegetasi Dataran Tinggi

Vegetasi yang tumbuh di ketinggian antara 700 - 1500 m diatas permukaan laut (Badan Pertanahan Nasional).

Ekosistem pada daerah dataran tinggi dibentuk oleh kondisi lingkungan yang ekstrem, antara lain suhu malam hari yang sangat rendah, intensitas sinar matahari yang tinggi pada siang hari namun disertai masa fotosintesa yang pendek, kabut tebal, curah hujan tinggi, serta kondisi tanah yang buruk. Tanaman yang tumbuh pada daerah tersebut sifatnya sangat khusus karena harus bertahan untuk hidup pada kondisi sulit tersebut.

Tanaman yang dapat tumbuh di daerah dataran tinggi diantaranya : cemara (tumbuhan berdaun jarum), ketela pohon, ubi jalar, kopi, cokelat, dst.

7. Vegetasi Pegunungan

Vegetasi yang tumbuh diketinggian antara 1500-2500 m di atas permukaan laut (Departemen Kehutanan). Terdapat di bukit-bukit yang lebih rendah atau di lereng gunung.

Salah satunya adalah tanaman teh dan bunga Eidelweis. Teh dihasilkan oleh perkebunan besar dan perkebunan rakyat, di daerah pegunungan yang subur dan banyak turun hujan. Selain itu tanaman kopi juga dapat tumbuh di daerah pegunungan. Tanaman tembakau dapat juga tumbuh di daerah ini namun hanya dapat pada musim kemarau.

Sumber :

http://www.ditjenphka.go.id/index.php?a=kn&s=k&i=20&t=4

http://www.pu.go.id/infostatistik/katalog/Kamus%20peristilahan.htm

http://www.wikipedia.co.id

Kembalikan Hutan Indonesiaku

“Kembalikan Hutan Indonesiaku”

Indonesia mempunyai Hutan Hujan Tropis terbesar di dunia. Sehingga Indonesia dikenal negara “paru-paru dunia, sebagai penyumbang CO2 terbesar. Kita tidak menyadari bahwa begitu pentingnya negara kita terhadap dunia ini. Sumber Daya Alam yang melimpah ruah sehingga negara tetangga tergiur untuk memilikinya. PT Rimbunan Hijau Malaysia begitu mudahnya mengambil kayu-kayu besar yang berada di Papua bahkan kita tidak menyadarinya. Kejadian ini terlihat oleh Australia bahwa PT Rimbunan Hijau Malaysia telah membabat habis hutan di kawasan hutan tropis Papua bagian selatan.

Berdasarkan rekaman Doc. SCTV (2006) dengan kamera tersembunyi terbukti bahwa Malaysia Mencuri kayu-kayu tersebut dari hutan-hutan yang ada di indonesia diantaranya hutan Kalimantan dan hutan Papua. Sebagian besar kayu-kayu tersebut di ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang. Masalah ini harus perlu ditindaklanjuti.

Peranan hutan tropis sangatlah penting bagi kehidupan. Di antaranya adalah untuk menjaga ketersediaan oksigen, menyimpan air sehingga tidak terjadi erosi, longsor dan banjir. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (2007) melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat. Laju kerusakan hutan yaitu 2 % atau sekitar 1,87 juta ha/tahun atau setiap harinya hutan rusak seluas 51 km2.

Sejak isu ‘Global Warming’ mendunia, Indonesia dituding sebagai salah satu negara biang kerok perubahan iklim akibat sumbangan asap dari kebakaran hutan yang sering terjadi. Petani ladang berpindah pun disalahkan dari pembakaran hutan ini.

Otto Soemarwoto dalam bukunya Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan menjelaskan bahwa ladang berpindah menuai gangguan pada alam sekitarnya apabila daur perladangan menjadi pendek, misalnya dari 25 tahun lalu menjadi 5 tahun atau kurang dan terjadi kerusakan hutan. Rusaknya hutan yaitu tidak dapat pulih seperti sedia kala dan kesuburannya cenderung merosot. Terjadinya gangguan ini bisa jadi disebabkan kepadatan penduduk yang meningkat atau diambilnya sebagian area ladang untuk pembalakan atau keperluan lain.

Menteri Kehutanan, M.S Kaban menjelaskan bahwa kerusakan hutan di Indonesia telah diantisipasi dengan beberapa teknis yang diupayakan untuk mengerem kerusakan sejak 3 tahun yang lalu. Teknis tersebut yaitu :

1. Investasi HTI di kawasan hutan produksi yang tidak produktif lagi.

2. Melarang industri pulp dan kertas yang mengonsumsi bahan baku dari hutan alam

3. Kampanye hutan tanaman rakyat dengan mengelola perkembangan kepompong atau kokon sutra alam di sekitar hutan yang terintegrasi dengan industri sutra senilai Rp. 13,7 miliar.

Selain ke tiga upaya Menteri Kehutanan ada upaya yang harus perlu dilakukan lagi yaitu pengamanan kawasan perbatasan. Daerah ini rawan akan terjadinya pencurian kayu-kayu terutama kawasan utara Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Indonesia merupakan negara Maritim memililki armada laut yang sangat luas sehingga ketahanan angkatan laut juga harus lebih ditingkatkan lagi. Terutama PT Rimbunan Hijau Malaysia harus dikenakan sanksi tegas.

Dirjen Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial dari Departemen Kehutanan, Darori, menjelaskan bahwa keberadaan Gerakan Nasional Rehab Hutan dan Lahan (GERHAN) pada tahun 2007 ini menghabiskan dana Rp. 4,3 triliun untuk merehabilitasi 900.000 ha lahan rusak. Namun, GERHAN tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya cara untuk mengejar laju kerusakan hutan, akhirnya diupayakan dengan mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan.

Aktivitas tambang dari SDA non-renewable yang tidak memikirkan konservasi lahan tambang, pembalakan liar, ilegal logging adalah sederet aktivitas yang akrab dilakoni oleh para kapitalis terhadap hutan-hutan di Indonesia tercinta ini. Ditambah kontrak lahan/tanah yang nyaris seabad dari legalisasi UU Penanaman Modal (lihat pasal 22 UU PM), membuat para kapitalis melenggang merdeka mengekploitasi SDA yang sejatinya untuk kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan klasifikasi kepemilikan maka hutan dan barang tambang yang jumlahnya berlimpah diklasifikasikan menjadi milik umum yang harus dikelola oleh negara yang kemudian hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat demi kesejahteraan mereka yaitu rakyat, bukan penguasa apalagi konglomerat saja. Apalagi tegaknya negara bukanlah sebagai negara korporasi namun sebagai pihak yang berwenang dan berkewajiban dalam mengurusi kesejahteraan rakyatnya.

Kapitalisme tidak mengenal akan klasifikasi kepemilikan ini karena mereka mengadopsi kebebasan kepemilikan bahkan dengan menghalalkan segala cara. Bila klasifikasi kepemilikan ini diterapkan dengan kekuatan negara yang mumpuni, maka tidak akan ada pihak swasta ataupun asing mencaplok apapun yang sejatinya adalah milik rakyat.

Potensi dan keadaan hutan yang selalu berubah karena pertumbuhan dan kematian yang terjadi maupun karena penebangan yang dilakukan oleh manusia, menyebabkan perlu adanya pengelolaan hutan ulangan setiap jangka waktu tertentu. Pengelolaan ulang ini tidak hanya dilakukan terhadap tegakan baru atau tegakan yang mengalami perubahan besar saja, tetapi terhadap seluruh tegakan yang ada.

Jangka waktu antara pengelolaan hutan ulangan tersebut dapat berbeda-beda, tetapi pada umumnya tidak kurang dari 5 tahun. Pada hutan jati di Jawa misalnya, pada saat ini pengelolaan hutan ulangan cukup dilakukan 10 tahun sekali karena jati mempunyai pertumbuhan yang lambat. Di luar Jawa, karena ada Rencana Karya Lima Tahun (RKL), seharusnya pengeloaan hutan diulang setiap 5 tahun sekali, paling tidak untuk wilayah RKL yang akan dikerjakan periode mendatang.

Bila negara tak mampu lagi menjaga kelestarian alam, kerindangan hutan, bahkan menindak tegas para perusak alam yang bisa jadi adalah orang-orang yang dianggap terhormat serta mengantongi ijin eksploitasi hutan untuk kayu dan isi bumi dalam jumlah besar, lalu siapa lagi yang harus bertanggung jawab. Karena peran rakyat saja tidak cukup bila pemerintahnya justru tidak sejalan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sendiri.

Referensi :

Simon, Hasanu. 1996. Metoda Inventore Hutan. Edisi-1.Cet 2. Yogyakarta: Aditya Media

www.geocities.com

http://stevenpailah.blogspot.com/2008/05/archipelagic-state

Rekaman Siaran SCTV Doc. 2006